makna banjir bengawan solo bagi masyarakat cepu dalam kajian etno ekologi


BAB 1
PENDAHULUAN


1.      LATAR BELAKANG MASALAH

Musim hujan merupakan musim yang menggembirakan bagi petani. Dengan datangnya musim hujan, tanaman di sawah akan tumbuh dengan subur. Tanah di sawah akan menjadi lebih gembur dan mudah diolah untuk ditanami. Biasanya petani menanam padi pada musim hujan, karena tanaman padi membutuhkan banyak air untuk tumbuh subur. Faktor hujan ini sangat menentukan kesuburan tanaman padi yang akan ditanam oleh petani. Geertz (1983:31) mengemukakan bahwa air merupakan faktor terpenting untuk menanam padi. Namun apabila pengaturannya tidak benar misalnya kelebihan atau kekurangan air, maka padi yang ditanampun tidak akan tumbuh dengan subur.
   Bagi masyarakat di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora yang tinggal di bantaran Bengawan Solo, musim hujan merupakan masa (paceklik) atau masa sulit. Masyarakat   yang tinggal di bantaran Bengawan Solo sangat bergantung sekali dengan Bengawan  Solo. Karena mata pencaharian utamannya adalah penambang pasir dan pembuat batako. Bagi penambang pasir saat musim hujan tidak bisa bekerja untuk mengeruk pasir dari dasar sungai, karena derasnya arus sungai. Bagi pembuat batako, kesulitan mendapatkan bahan untuk membuat batako dan tempat untuk membuatnya digenangi banjir. Hal ini terjadi ketika bulan Oktober sampai bulan Februari. Begitu pula bagi pemilik perahu, tidak bisa menyewakan perahunya untuk sarana transportasi guna mengangkut pasir dan menyeberangkan orang ke desa lain.
   Banjir yang terjadi tersebut menimbulkan kerugian baik secara materiil maupun immateriil bagi masyarakat sekitar Bengawan Solo. Kerugian yang bersifat materiil akibat dari luapan Bengawan Solo di daerah Bojonegoro telah menerjang 85 desa di 15 kecamatan. Sebanyak 3.269 rumah pemukiman warga terendam banjir.  Banjir juga merendam 2.676 hektare tanaman padi, 174 hektare jagung, serta 17 hektare kedelai dan kacang tanah. Selain itu kerugian yang lain adalah hilangnya barang-barang/ternak karena ikut hanyut ke sungai, selama banjir berlangsung sebagian masyarakat tidak bisa bekerja (www.liputan6.com). Kerugian yang bersifat immateriil yaitu faktor psikologi dari sebagian masyarakat yang  masih trauma akibat banjir yang terjadi, perasaan was-was, penyakit yang ditimbulkan dari banjir seperti: gatal-gatal, demam, masuk angin, diare, dll.
Masyarakat di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora yang tinggal di bantaran Bengawan Solo tetap bertahan, padahal Bengawan Solo sering meluap dan membanjiri tempat tinggal tersebut. Masyarakat Kecamatan Cepu lebih memilih untuk mengungsi saat banjir dan kembali saat banjir surut, dari pada pindah ke tempat yang lebih aman dari jangkauan banjir. Pada saat banjir ribuan orang membuat tenda darurat sebagai tempat pengungsian di tanggul Sungai Bengawan Solo. Harta benda para warga juga dibawa ke tenda darurat tersebut. Masyarakat Kecamatan Cepu yang tinggal di bantaran Bengawan Solo menolak untuk dipindah ke tempat yang lebih aman dari bahaya banjir, dengan alasan ingin menjaga rumah dan harta bendanya (www. Tempointeraktif.com).
Pengungsi terlihat di sepanjang kilometer 19 arah barat Kota Bojonegoro, tepatnya di sebelah barat Kota Bojonegoro, tepatnya di Desa Cengungklung dan Desa Celangap, Kecamatan Kalitidu. Sedikitnya 40 tenda-tenda darurat didirikan di pinggir jalan besar jalur lintas provinsi Jawa Tengah-Jawa Timur yang menghubungkan Kota Cepu-Bojonegoro-Surabaya. Kondisi pengungsi di tempat itu cukup mengenaskan. Tenda-tenda darurat mereka bercampur dengan hewan ternak, seperti sapi dan kambing, yang berjajar tak jauh dari kerumunan anak-anak dan orang tua. Tenda yang dirikan bahkan sebagian makan separuh jalan, hingga mengganggu pengguna jalan yang rata-rata kendaraan besar.
Banjir yang terjadi di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora, bukan dikarenakan faktor hujan saja melainkan oleh faktor manusia pula. Karena hutan yang berada di daerah hulu Bengawan Solo telah habis ditebangi oleh manusia yang tidak bertanggung jawab. Sehingga air hujan tidak meresap dan diserap akar tanaman di dalam tanah melainkan akan langsung menuju sungai. Selain itu pasir di sepanjang sungai telah dikeruk dengan menggunakan alat penyedot pasir. Masyarakat yang menggunakan cara tersebut kurang memperhitungkan akibat yang timbul dari kegiatan itu. Akibatnya masyarakat yang tinggal sekitar Bengawan Solo yang menerima dampaknya yaitu berupa banjir.
Masyarakat di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora bertempat tinggal hanya beberapa meter dari Bengawan solo. Padahal panjang bantaran sungai dari pemukiman menurut Kepres No. 32/1990 dan PP No. 47/1997 bahwa lebar sempadan atau bantaran pada anak sungai besar diluar pemukiman minimal 100 m dan pada anak sungai besar minimal 50 m di kedua sisi (Maryono, 2005:103).
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk malakukan penelitian dengan judul Makna Banjir Bengawan Solo Bagi Masyarakat Cepu Sebuah Kajian Etnoekologi (studi kasus di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora).

2.       RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang maka perumusan masalah adalah bagaimana makna banjir Bengawan Solo bagi masyarakat Cepu dikaji melalui etnoekologi (studi kasus di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora).




3.      TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan penelitian adalah untuk mengetahui makna banjir Bengawan Solo bagi masyarakat Cepu dikaji melalui etnoekologi (studi kasus di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora).

4.      MANFAAT PENELITIAN
a.      Kegunaan teoritis
1)  Untuk memperoleh kajian etnoekologi atau ekologi budaya mengenai makna banjir Bengawan Solo bagi masyarakat Cepu (studi kasus di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora).
2)    Menambah khasanah pengetahuan tentang masyarakat dan kebudayaannya.
3) Sebagai informasi bagi peneliti selanjutnya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
b.      Kegunaan Praktis
1) Memberikan pengetahuan kepada masyarakat disekitar Bengawan Solo mengenai bahaya bencana banjir.
2)  Memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah Kabupaten Blora khususnya dalam perencanaan pembangunan di masa yang akan datang.


5.      PENEGASAN ISTILAH
a.      Banjir
      Banjir terjadi akibat ketika suatu volume air tidak lagi tertampung dalam wadah yang seharusnya, sehingga menggenangi daerah atau kawasan lain. Banjir dapat terjadi karena penurunan daya tampung (threshold value) di sungai, saluran drainase, atau pembuangan air yang disebabkan oleh sedimentasi dan adanya kerusakan tanggul dan prasarana pengairan lainnya. Selain itu banjir dapat pula terjadi karena adanya peningkatan kapasitas permukaan (Sunaryo, dkk, 2007:42-43).
      Banjir adalah salah satu peristiwa proses alam, yang dapat menimbulkan dan menjadi ancaman yang serius terhadap penduduk, terutama yang menempati bantaran sungai-sungai besar atau yang tinggal di daerah dataran rendah atau yang tinggal di daerah daratan rendah (ledokan), serta di daerah pesisir dekat muara sungai.
      Menurut Lockwood, banjir adalah meluapnya air sungai dan menggenangi daerah yang relatif rendah terutama sekitar sungai tersebut. Luapan sungai tersebut terjadi karena adanya debit air sungai yang besar sehingga saluran sungai tidak mampu menampung debit air tersebut, atau dengan kata lain kapasitas tampung sungai melampaui (Tim Mitigasi Bencana Alam PBSA UGM, 2002:3).
      Banjir yang dimaksud dalam penelitian ini adalah banjir yang terjadi di Kelurahan Cepu Kecamatan Cepu Kabupaten Blora.
b.      Sungai
      Sungai merupakan satu kesatuan antara wadah air dan air yang mengalir, karena itu kesatuan sungai dan lingkungan merupakan satu persekutuan mendasar yang tak terpisahkan. Dengan sendirinya, pengelolaan lingkungan sungai merupakan bagian dari pengelolaan sumber daya perairan. Namun sayang sekali, asas tersebut sering di abaikan (baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan) sehingga orientasi kolektif terhadap pelestarian aspek lingkungan sungai seringkali rendah.
      Sungai yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Bengawan Solo.
c.       Masyarakat
      Masyarakat dalam bahasa Inggris adalah society yang berasal dari bahasa latin socius berarti kawan. Sedangkan istilah masyarakat berasal dari bahasa Arab, Syaraka yang berarti ikut serta berpartisipasi. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul atau berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat, 2000:143-146).
      Menurut Linton (dalam Harwantiyoko, dkk., 1993:4) masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka sendiri sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang jelas.
      Menurut Mac Iver dan Page (dalam Harwantiyoko, dkk., 1993:4) bahwa masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara dari wewenang serta kerjasama antara berbagai kelompok dan pengolongan, dari pegawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia.
      Menurut Sudharto (2005:47), masyarakat adalah sekelompok orang yang memiliki perasaan yang sama atau menyatu satu sama lain karena mereka saling berbagi identitas, kepentingan-kepentingan yang sama, perasaan memiliki dan biasanya satu tempat yang sama.
      Menurut Harwantiyoko, dkk. (1993:5) Masyarakat mempunyai  3 ciri-ciri pokok yaitu:
1.      Manusia yang hidup bersama.
2.      Bergaul selama jangka waktu yang cukup lama.
3.      Adanya kesadaran bahwa setiap manusia merupakan bagian dari suatu kesatuan.
      Masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat yang tinggal di Kelurahan Cepu Kecamatan Cepu Kabupaten Blora yang berada di sekitar Bengawan Solo.
d.      Etnoekologi
      Penelitian etnoekologi pada dasarnya bertujuan untuk melukiskan sebagaimana lingkungan tersebut dilihat oleh masyarakat yang diteliti. Asumsinya adalah bahwa lingkungan efektif (effective environment) yakni lingkungan yang berpengaruh terhadap perilaku manusian mempunyai sifat kultural. Artinya, lingkungan fisik yang telah diinterpretasi, ditafsirkan lewat perangkat pengetahuan dan sistem nilai tertentu. Etnoekologi merupakan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini.

6.      SISTEMATIKA SKRIPSI
   Sistematika Skripsi Yang Berjudul “Makna Banjir Bengawan Solo Bagi Masyarakat Cepu Sebuah Kajian Etnoekologi Di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora”  mempunyai tiga bagian, yaitu bagian pendahuluan, bagian isi, dan bagian akhir skripsi.
a.       Bagian pendahuluan skripsi berisi mengenai sampul Judul, halaman logo, halaman judul dalam, persetujuan pemimbing, pernyataan ( keaslian karya ilmiah) motto dan persembahan, prakata, Sari  (Abstraksi), Daftar Isi, Daftar Gambar, Daftar Lampiran. Bagian ini berguna untuk mempermudah pembaca dalam memahami isi skripsi.
b.      Bagian isi skripsi terdiri atas BAB I, II, III, IV, dan V.
1)      BAB I berupa Pendahuluan berisi tentang Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan penelitian, kegunaan penelitian, batasan Istilah, dan Sistematika Penulisan Skripsi.
2)      BAB II berupa kajian kepustakaan berisi mengenai bahaya bencana banjir, sungai, masyarakat, kebudayaan, persepsi, persepsi masyarakat desa mengenai lingkungan alam, dan Kerangka Berpikir.
3)      BAB III berupa Metode Penelitian berupa uraian mengenai lokasi penelitian, fokus penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, validitas, dan metode analisa data.
4)      BAB IV berupa uraian tentang hasil penelitian dan pembahasan sebagai pemecahan  masalah bagi permasalahan yaitu bagaimanakah Makna Banjir Bengawan Solo Bagi Masyarakat Cepu Sebuah Kajian Etnoekologi Di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora.
5)      BAB V berupa Penutup berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian.
c.       Bagian akhir skripsi berisi daftar pustaka dan lampiran-lampiran. Daftar pustaka berisi daftar buku-buku dan kearsipan yang menunjang penelitian. Daftar lampiran berisi daftar pedoman wawancara, pedoman observasi serta gambar dan foto.
BAB II
TELAAH PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

A.    TELAAH PUSTAKA
                  a.      Bahaya Bencana Banjir
1)      Banjir
Banjir adalah aliran sungai yang mengalir melampaui kapasitas tampung sungai dan dengan demikian, aliran sungai tersebut akan melewati tebing sungai dan menggenangi daerah sekitarnya (Asdak, 1995:410-411). Misanya tahun 1966 banjir Bengawan Solo yang sempat menjebolkan tanggul yang membentangi kota Solo. Telah menyapu gubug-gubug liar, rumah permanen, gedung perkantoran maupun gedung sekolahan (Pranowo, 1985:60-61).
2)      Bencana banjir
Banjir dapat merupakan suatu bencana apabila banjir tersebut menggangu aktivitas manusia. Oleh karena itu, bencana banjir tidak hanya merupakan masalah fisik saja tetapi mencakup banyak aspek sosial-ekonomi dan kesehatan masyarakat. Dampak yang disebabkan oleh bencana banjir antara lain: kerusakan bangunan, erosi, hilangnya jiwa manusia, kehilangan harta, terganggunya sistem sistem air, rusaknya lahan pertanian, terganggunya transportasi dan perhubungan seperti telepon dan listrik. Kerusakan akibat banjir pada daerah bahaya banjir sangat bervariasi tergantung faktor yang bekerja pada ruang dan waktu tertentu (Yasin, 2005:18).
Menurut Tim Mitigasi Bencana Alam PBSA UGM (2002: 3-4) jenis-jenis bencana banjir diklasifikasikan menjadi 2 yaitu:
a)      Banjir sebagai akibat meluapnya sungai
b)      Banjir yang disebabkan oleh tingginya curah hujan dalam periode waktu tertentu (intensitas hujan) yang dapat menggenangi daerah yang relatif lebih rendah atau ledokan.
3)      Faktor Penyebab Banjir
Menurut Subrakah (1979), banyak hal yang mengakibatkan banjir antara lain peristiwa alam, campur tangan manusia dan masalah lingkungan. Peristiwa banjir yang terjadi di dunia ini sebagian besar disebabkan oleh faktor alam, seperti hujan. Banjir juga disebabkan oleh campur tangan manusia seperti: penebangan hutan di derah hulu sungai, membuang sampah di sungai, membuat bangunan dibantaran sungai, dll. Juga masalah lingkungan seperti masuknya kerikil, pasir, batu dan sedimen pada lembah sungai dapat menghambat aliran sungai. selain itu pingiran sungai yang ditumbuhi tumbuh-tumbuhan yang bisa menghambat arus sungai sehingga dapat mengakibatkan banjir.

Menurut Kodoatie (2002:78-79) ada delapan faktor yang menyebabkan banjir yaitu:
a).  Curah hujan
Musim penghujan yang biasanya jatuh pada bulan Oktober sampai dengan bulan Maret, curah hujan yang tinggi akan menyebabkan banjir di sungai dan apabila melebihi tebing sungai.
b). Pengaruh fisiografi
            Fisiografi atau geografi fisik sungai seperti bentuk, fungsi dan kemiringan  sungai, lokasi, dll. Merupakan hal yang mempengaruhi banjir.
c). Erosi dan sedimentasi
            Berpengaruh terhadap pengurangan kapasitas penampungan sungai. Erosi merupakan problem klasik sungai-sungai di Indonesia. Besarnya sedimentasi akan mengurangi kapasitas saluran, sehingga timbul genangan dan terjadi banjir di sungai.
                 d). Kapasitas sungai
            Pengurangan kapasitas aliran banjir pada sungai dapat disebabkanoleh pengendapan yang berasal dari erosi DAS dan erosi tanggul sungai yang berlebihan dan sedimentasi itu tidak adanya vegetasi penutup adanya penggunaan lahan yang tidak tepat.

                  e). Kapasitas drainase yang tidak memadai
            Hampir semua kota-kota di Indonesia mempunyai drainase daerah genangan yang tidak memadai, sehingga kota-kota tersebut sering menjadi langganan banjir pada musim hujan.
f). Pengaruh air pasang
Air pasang laut memperlambat aliran sungai ke laut. Pada waktu banjir bersamaan dengan air pasang yang tinggi maka tinggi genangan atau banjir derah perkotaan.
g). Kawasan kumuh
              Pemukiman kumuh yang ada sepanjang sungai akan dapat menjadi faktor penghambat aliran. Masalah kawasan kumuh dikenal sebagai faktor penting terhadap masalah banjir daerah perkotaan.
h). Sampah
Kedisiplinan masyarakat dalam membuang sampah pada tempatnya yang ditentukan tidak baik, kebanyakan mereka membuang langsung ke sungai. Di kota-kota besar hal ini sangat sering dijumpai. Pembuangan sampah dialur sungai dapat meninggikan muka air banjir karena menghalangi aliran sungai.



d.      Sungai
1)            Ekosistem Sungai
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen-komponen yang saling berintegrasi sehingga membentuk suatu kesatuan. Sistem tersebut mempunyai sifat tertentu tergantung dari jumlah dan jenis komponen yang menyusunnya. Ekosistem terdiri atas komponen biotis dan abiotis yang saling berinteraksi membentuk satu kesatuan yang teratur.
Aktivitas dari suatu komponen ekosistem selalu memberi pengaruh pada komponen ekosistem lain. Manusia adalah salah satu komponen yang penting. Sebagai komponen yang dinamis, manusia dalam menjalankan aktivitasnya seringkali mengakibatkan dampak pada salah satu komponen lingkungan dan dengan demikian, mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan.
Selama hubungan timbal balik antar komponen ekosistem dalam keadaan seimbang, selama itu pula ekosistem berada dalam kondisi stabil. Sebaliknya, bila hubungan timbal balik antar komponen lingkungan mengalami gangguan, maka terjadilah gangguan ekologi.
Sebagai contoh erosi yang terjadi di daerah hulu, akibat praktik bercocok tanam yang tidak mengikuti kaidah-kaidah konservasi tanah dan air atau akibat pembuatan jalan yang tidak direncanakan dengan baik tidak hanya memberikan dampak di daerah dimana erosi tersebut berlangsung. Namun juga akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk penurunan kapasitas tampung waduk yang pada gilirannya dapat meningkatkan resiko banjir (Asdak, 1995:13-16).
2)            Kerusakan Ekosistem Sungai
Masalah degradasi lingkungan yang sering terjadi akhir-akhir ini berpangkal pada komponen desa. Pertumbuhan manusia dengan cepat menyebabkan perbandingan antara jumlah penduduk dengan lahan pertanian tidak seimbang. Hal ini telah mengakibatkan pemilikan lahan pertanian menjadi semakin sempit. Keterbatasan lapangan kerja dan kendala ketrampilan yang terbatas telah menyebabkan kecilnya pendapatan petani. Keadaan tersebut akan mendorong kebanyakan petani untuk merambah hutan dan lahan tidak produktif sebagai lahan pertanian.
Lahan yang kebanyakan marjinal apabila diusahakan dengan cara-cara yang mengabaikan kaidah-kaidah konservasi tanah terhadap erosi dan tanah longsor dan lalu akan meningkatkan jumlah air hujan. Dengan demikian, resiko banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau meningkat (Asdak, 1995:16).

Kegiatan manusia itu yang membabat hutan, menebangi pohon pelindung, merusak danau, waduk, sempadan sungai, pantai, serta membuang sampah sembarangan, menyebabkan berkurangnya daya dukung lahan untuk menyerap air hujan. Potensi air ini dapat menjadi ancaman yang serius bagi keselamatan jiwa manusia jika kapasitas serap lahanya sangat terbatas. Dan kenyataan itu kini terjadi, air hujan telah menyebabkan banjir dimana-mana (Kondra, 2004:150).
Disamping bahaya banjir dan erosi, kerusakan alam ini juga merusak ekologi sungai secara dasyat. Penjarahan sempadan sungai sampai saat ini masih berlangsung, masyarakat luas secara legal dan ilegal mendesak atau menjarah tanah milik sungai untuk dijadikan rumah tinggal atau real estate. Jika ini tidak dikendalikan, maka semua sungai akan menjadi sempit dan berbahaya. Sungai Ciliwung di Jakarta misalnya yang lebar awalnya lebih dari 65m sekarang tinggal 20m (Kondra, 2004:101).
Perilaku manusia yang merusak alam terus meningkat dan semakin sulit dikendalikan. Keadaan ini juga dirangsang dengan lemahnya penegak hukum sehingga peraturan perundangan sulit dilaksanakan (Kondra, 2004: 151).



3)            Pengelolaan Sungai
Maryono (2005:103), mengemukakan dalam konsep pengelolaan sungai ada 4 cara yaitu:
a)      Menentukan lebar bantaran sungai (sempadan sungai)
Peraturan mengenai sempadan atau bantaran sungai di Indonesia telah diatur dalam Kepres No. 32/1990 dan PP No. 47/1997 yang menetapkan bahwa lebar sempadan pada anak sungai besar di luar pemukiman minimal 100m dan pada anak sungai besar minimal 50m di kedua sisi.
Namun kenyataan yang terjadi didalam kehidupan masyarakat, sempadan sungai ini dijadikan sebagai pemukiman oleh masyarakat miskin. Pemerintah telah memberitahu bahwa sempadan sungai tidak boleh dijadikan rumah tinggal, karena besar sekali ancaman bahaya banjir yang terjadi pada musim penghujan. Tapi masyarakat tidak mau pindah dan penertiban dengan cara penggusuranpun dilakukan oleh pemerintah.

b)      Peninjauan kembali pentaludan
Pembuatan talud dengan pasang batu dan beton, pengurugan tebing sungai, penyempitan tampang sungai, menggunakan daerah bantaran sungai untuk fasilitas umum, tanpa disadari sangat kontra produktif bahkan dapat menyebabkan terjadinya kekeringan bantaran sungai serta akan bertolak belakang dengan rencana pemanfaatan sungai sebagai aset pariwisata yang menarik.

c)      Revitalisasi sungai kecil
Sungai pada sebagian kota besar kurang diperhatikan, misalnya Jakarta, Surabaya, dan Semarang. Banyak sekali sungai kecil yang di urug begitu saja, dipersempit, diluruskan, ditalud, dibeton, atau ditutup menjadi trotoar. Hampir semua sungai kecil di perkotaan dan pinggiran sudah di ubah menjadi saluran pembuangan yang sangat tidak ekologis, sempit, penuhg sampah dan kotor. Padahal sungai kecil merupakan bagian terpenting dari sistem sungai dan padanya tersimpan rahasia kejadian kekeringan, banjir dan kehancuran lingkungan yang lebih fatal. Olah karena itu sungai kecil perkotaan dan pinggiran harus di kembalikan lagi fungsi vitalnya sebagai komponen tata airutama dari suatu kawasan.      

d)     Renaturalisasi sungai
Adalah mengembalikan fungsi kealamian ekosistem dari sungai. Misalnya menggusur bangunan yang berdiri disepanjang bantaran sungai. Hal ini merupakan suatu peristiwa yang terjadi di wilayah Jakarta yaitu disepanjang sungai Ciliwung.
e.       Persepsi Masyarakat Desa Mengenai Lingkungan Alam
Persepsi itu merupakan proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu (Walgito, 2001:54).
Menurut Dayakisni (2003:174) Proses persepsi dipengaruhi oleh latar belakang budaya. Lingkungan pertama kali ditangkap oleh indera manusia. Namun keterbatasan kemampuan indera dan kognitif manusia menjadikan adanya proses seleksi stimulus.
Brunswick (dalam Dayakisni, 2003:179) persepsi merupakan hasil fungsi dari interaksi antara organisme dan stimulus yang disensasi.
Masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan (Soekanto, 2004:171). Masyarakat petani biasanya hidup di daerah pedesaan, mereka hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan yang berbeda dengan masyarakat yang lainnya .
Menurut pasal 1 UU no. 5 tahun 1979 (dalam Yuliati, 2003: 33) yang dimaksud desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat, termasuk didalamnya kesatuan masyarakat, hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Manusia sebagai anggota masyarakat, hidup dalam lingkungan yang kompleks. Lingkungan tersebut akan menjadi lebih kompleks dengan diikuti perkembangan kebudayaan manusia. Manusia berinteraksi dengan lingkungan hidupnya, manusia mempengaruhi maupun dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya.
Yang dimaksud lingkungan di sini adalah himpunan dari semua kondisi luar yang berpengaruh pada kehidupan dan perkembangan pada suatu organisme, perilaku manusia atau kelompok manusia. Lingkungan luar manusia dapat digolongkan menjadi 3 golongan utama yaitu lingkungan fisik manusia, lingkungan biologis dan sosial yang ketiganya sangat berkaitan erat dan saling mempengaruhi satu sama lain:
1)      Lingkungan fisik
Lingkungan fisik adalah lingkungan di sekeliling manusia yang terdiri dari benda-benda tak hidup (non living thing) misalnya air, udara, tanah, iklim, dsb. Antara manusia dengan lingkungan fisiknya ada interaksi yang menetap, dimanapun manusia berada akan selalu di kekelilingi oleh lingkungan fisik tersebut.
2)      Lingkungan biologis
Keseluruhan mahkluk hidup yang ada di sekeliling manusia terrmasuk manusia itu sendiri. Mahluk hidup itu berkisar dari yang paling kecil yaitu virus dan mikroba sampai ke insekta, binatang, tumbuhan dan manusia itu sendiri.
3)      Lingkungan sosial
lingkungan masyarakat yang mencakup hubungan yang komplek antara faktor lingkungan dan manusia serta kondisi budaya sistem nilai, adat, kegiatan, kepercayaan, sikap, moral, agama, pendidikan, pekerjaan, standar hidup, kehidupan manusia dan organisasi sosial dan politik (Sudharto, 2005: 47).
Sebagai makhluk hidup, manusia hidup di bumi tidak sendirian, melainkan bersama mahluk lain seperti tumbuhan dan hewan. Manusia hidup dalam suatu kelompok yang disebut dengan masyarakat. Manusia   hidup bersama hewan menempati suatu lingkungan tertentu. Kecuali mahluk hidup juga terdapat benda lain yang tak hidup misalnya udara, air, tanah, batu, dll. Ruang yang ditempati oleh mahluk hidup tersebut  disebut lingkungan hidup.
 Lingkungan adalah himpunan dari semua kondisi luar yang berpengaruh pada kehidupan dan perkembangan pada suatu organisme, perilaku manusia atau kelompok manusia. Sebagai mahluk hidup, manusia  hidup bersama hewan  menempati suatu lingkungan tertentu. Pemahaman umum mengenai lingkungan sering dikaitkan sebagai wilayah atau lahan yang ada di sekitar yang digunakan untuk tempat tinggal.
Akan tetapi pengertian lingkungan sering disebut dengan istilah lingkungan hidup yaitu meliputi segala apa saja, baik berupa benda mati maupun benda hidup yang ada disekitar kita. Baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi hidup dan kehidupan. Manusia sebagai anggota masyarakat, hidup dalam lingkungan yang kompleks. Lingkungan tersebut akan menjadi lebih kompleks dengan diikuti perkembangan kebudayaan manusia. Lingkungan disini adalah himpunan dari semua kondisi luar yang berpengaruh pada kehidupan dan perkembangan pada suatu organisme, prilaku manusia atau kelompok manusia (Bratha, 1991:1).
Hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya bersifat sirkuler.  manusia hidup dari unsur-unsur lingkungan hidupnya misalnya udara untuk bernapas, air untuk minum dan untuk keperluan sehari-hari seperti memasak, mencuci, mandi, dll. Sedangkan bagi tumbuhan dan hewan untuk makanan, tenaga dan kesenangan serta lahan untuk tempat tinggal dan produksi (Bratha, 1991:2).
Koentjaraningrat (dalam Pranowo, 1985:63) mengemukakan bahwa sebagian besar masyarakat desa berprofesi sebagai petani. Dimana petani mempunyai kebiasaan yaitu menjaga hubungan dan hidup selaras dengan lingkungan alam sekitarnya. Berarti kehidupan petani tidak mengubah alam sama sekali, tetapi memanfaatkan alam secara sebaik-baiknya.
Hal ini tercermin dalam falsafah dasar orang Jawa dengan istilah hamemayu hayuning bawono memelihara keselamatan dunia. Falsafah Orang Jawa ini juga digunakan oleh Sultan Hamengkubuono X dalam mencanangkan pembangunan di wilayah DIY (Daerah Istimewa Yogjakarta). Falsafah ini di jadikan sebagai lambaran dalam melangkah kaitannya dengan masalah sosial, budaya, ekonomi, pendidikan maupun masalah lingkungan hidup. Falsafah ini merupakan sebuah tekad yang mengkonservasi, menjaga dan memelihara alam, atau tekad mengembangkan dan mengelola alam tanpa merusak, atau tekad memperbaiki tanpa menghancurkan segala yang ada di Ngarcopodo ini yang merupakan pemberian, hadiah sekaligus amanat dari Gusti Allah Yang Moho Widi (Maryono, 2005:146).
Menurut Maryono (2005:146) Hamemayu Hayuning Bawono dari aspek lingkungan, ekologi dan sosial dapat diartikan menjadi tujuh makna yaitu:
1) Hamemayu hayuning tirto (air) dapat diartikan bahwa seluruh masyarakat baik pemerintah, legistif, partai-partai, pembisnis, LSM, dan rakyat kebanyakan memiliki tugas secara bersama untuk menjaga kelestarian sumber daya air dengan segala komponen penyangganya seperti sungai, danau, situ, embung, mata air, air tanah dan siklus hidrologinya, serta komponen-komponen ekologi yang terkait dengan air. Sehingga tirto tidak menimbulkan bahaya banjir dan kekeringan.
2) Hamemayu hayuning samudro (samudra) diartikan sebagai upaya memperindah, menjaga dan melestarikan potensi bahari-samudra yang amat-sangat luas ini. Kekayaan yang terkandung diperairan laut dapat dikelola, dimanfaatkan sekaligus dijaga kelestarianya agar keindahan dan kekayaan dapat lestari lebih-lebih dapat semakin meningkat kualitas dan kuantitas ekosistemnya.
3)  Hamemayu hayuning wono (hutan). Hutan merupakan inti pokok alam Catchment Area  atau Daerah Aliran Sungai (DAS). Jika hutan rusak maka seluruh sistem alam ini akan ikut rusak, misalnya tata air permukaan, iklim mikro dan makro, frekuensi dan durasi hujan, kelangsungan hidup ekologi. Menjaga kecantikan dan kelestarian DAS pada intinya adalah menjaga kelestarian hutan beserta seluruh tata air dan tata lingkungan yang ada di dalamnya baik biotik (flora dan fauna) maupun abiotik (komposisi tanah, geografi-geomorphologi, aliran air, mata air).
4)      Hamemayu hayuning howo (udara) diartikan sebagai upaya aktif untuk selalu menjaga, memperindah atau mempercantik kondisi udara atau atmosfer. Oleh karena itu perlu dikembangkan suatu program nyata untuk memperbaiki kualitas udara yang nyata-nyata sudah sangat membahayakan. Perbaikan atmosfer bisa dilakukan melalui pembatasan emisi kendaraan bermotor. Disamping itu bisa dilakukan dengan memperbanyak suplai oksigen melalui program hutan kota dengan penanaman tanaman-tanaman vegetasi di kota maupun pinggiran dalam jumlah mencukupi.
5)      Hamemayu hayuning bantolo (tanah) diartikan sebagai upaya konservasi tanah dan sumber daya alam dan mineral yang ada di dalamnya. Maka perlu pelestarian tanah tempat kita berpijak dari segala macam polusi yang merupakan beban berat bagi daya dukung tanah ini. Misalnya polusi sampah plastik, polusi zat-zat kimia, bensin, detergen dan polusi-polusi yang lain yang masuk kedalam tanah. Hamemayu bumi bisa diartikan juga sebagai usaha untuk mengatur pola eksploitasi mineral, tambang maupun bahan galian sekaligus menghindarkan sejauh mungkin dampak negatif yang muncul dari eksploitasi ini bahkan justru memperbaiki kualitas tanah yang ada.
6)      Hamemayu hayuning budoyo (budaya) dimaksudkan sebagai usaha nguri-uri kebudayaan baik yang kita miliki dan meminimalisir atau menghilangkan perilaku atau kebiasaan buruk yang ada dan berupaya menumbuhkan budaya baik sesuai dengan tuntutan jaman. Kaitannya dengan kepentingan pelestarian lingkungan adalah, upaya memperbaiki kebiasaan atau budaya untuk tidak memperparah kerusakan lingkungan, namun justru harus memperbaiki lingkungan.
Misalnya membuang sampah dan limbah langsung ke sungai, danau atau laut tanpa diperbaiki kuantitasnya, kebiasaan tidak menghormati komponen ekologi lingkungan misalnya kebiasaan berburu burung-burung, hewan dan insekta yang ada di sekitar kita, kebiasaan menebang pohon tanpa menanam kembali, merokok, kampanye berpolusi, boros dalam penggunaan air dan energi, tidak respek terhadap hidup termasuk kepada hewan dan tumbuhan dan kebiasaan-kebiasaan lain yang terkait dengan perusakan lingkungan. Selama budaya kita belum terbentuk dan tidak terbentuk sehingga masyarakat menjadi mengerti dan menghormati lingkungan akan semakin parah.
7)      Hamemayu hayuning manungso (manusia) seperti diketahui bersama bahwa manusia merupakan inti roh dari alam lingkungan sekitarnya. Jika manusia berperilaku-berbudaya buruk, maka lingkungan akan rusak. Jika manusia hanya menggunakan napsu angkara murkanya maka yang paling pertama menderita adalah lingkungan. Kalau manusia lupa bahwa dirinya adalah bagian dari lingkungan dan merupakan pesuruh Gusti Allah yang harus menjadi aktor pemelihara dan pengelola alam sekitar ini, maka alam ini pun akan rusak oleh ulah manusia sendiri.
Jadi yang dimaksud dengan persepsi masyarakat desa mengenai lingkungan alam yaitu interpretasi (pemaknaan) atau anggapan dari sekelompok orang yang menghuni suatu tempat di luar kota dalam jangka waktu yang relatif lama dan mempunyai kepentingan yang hampir sama pula mengenai lingkungan alam sekitarnya.


B.     LANDASAN TEORI
a.       Kebudayaan
Dalam kehidupan masyarakat, kebudayaan merupakan hal yang sangat diperlukan. Setiap masyarakat betapapun sederhananya pasti memiliki kebudayaan. Poerwanto (2006:51), Istilah kebudayaan atau culture dalam bahasa Inggris, berasal dari kata kerja dalam bahasa latin colere yang berarti bercocok tanam (cultivation). Dalam bahasa Indonesia, kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari kata budhi (budi atau akal).
Menurut Koentjaraningrat (1990:180) kebudayaan yaitu keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Koentjaraningrat menyebutkan ada tiga gejala kebudayaan yaitu:
1.      Ideas, yaitu berupa kompleks ide-ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya. Gagasan itu berada tidak lepas dari yang lain, melainkan berkaitan menjadi satu system (cultural system). Eksistensi kebudayaan ini berada pada alam pikiran warga masyarakat, namun dapat pula berupa tulisan-tulisan serta karangan-karangan.
2.      Actifities, yaitu berupa aktivitas yang berpola dalam suatu masyarakat, wujud kebudayaan ini berupa system social dalam masyarakat yang bersangkutan.
3.      Artefact, yaitu berupa benda-benda hasil karya manusia. Wujudnya berupa kebudayaan nyata, tampak fisiknya, karena merupakan hasil karya masyarakat yang bersangkutan.    
Menurut  Linton (dalam Ihromi,1986:18) kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan.
E. B. Tylor (dalam Poerwanto, 2006:52) mendefinisikan kata kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hokum, moral, adat dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Menurut Goodenough (dalam Keesing, 1989:68) kebudayaan sering diartikan dalam dua arah pengertian yang berbeda, yaitu pola untuk perilaku dan pola dari perilaku. Oleh karena itu kebudayaan sering diartikan dalam dua pengertian yang berbeda: pertama, pola kehidupan suatu masyarakat yang mencangkup kegiatan dan pengaturan material dan sosial yang berulang secara teratur, merupakan kekhususan suatu kelompok manusia tertentu: kedua, kebudayaan merupakan sistem pengetahuan dan kepercayaan yang disusun sebagai pedoman manusia dalam mengatur pengalaman dan persepsi mereka, menentukan tindakan, dan memilih diantara alternatif yang ada.
Menurut Peursen (1985:10) berpendapat bahwa kebudayaan merupakan manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang; berlainan dengan hewan-hewan maka manusia tidak hidup begitu saja ditengah-tengah alam, melainkan selalu mengubah alam itu.
Dalam penelitian ini cenderung peneliti cenderung untuk menggunakan pendapat dari Menurut Goodenough (1989) kebudayaan diartikan dalam dua arah pengertian yang berbeda, yaitu pola untuk perilaku dan pola dari perilaku.
b.      Ekologi
Istilah ekologi diciptakan oleh sarjana Jerman Ernst Haeckel seorang biologiwan Jerman, pada tahun 1869. Istilah ekologi terdiri dari 2 suku kata Yunani Oikos yang berarti rumah atau rumah tangga dan logos yang berarti uraian atau ilmu. Jadi secara harafiah ekologi adalah ilmu yang berarti ilmu kerumah-tanggaan. Tetapi rumah-tangga itu tidak terbatas pada pengertian rumah-tangga saja, melainkan bisa berarti yang lebih luas. Bisa diartikan pula sebagai desa, negara, bahkan seluruh dunia ataupun jagad raya (Dwidjoseputro, 1990:1-2).
Menurut Margalef (dalam Bennett, 1976:35-83) ekologi adalah ilmu yang mempelajari sebuah sistem dimana individu-individu atau keseluruhan organism adalah unsur-unsur interaksi, diantara mereka atau terorganisir secara bebas melalui matrik lingkungan.
Menurut Geertz (1983:1) ekologi yaitu ilmu yang mempelajari hubungan fungsional antara organisme dengan lingkungan hidupnya.
Menurut Poerwanto (2006:67) ekologi adalah ilmu yang mempelajari saling keterkaitan antara organisme dengan lingkungannya, termasuk lingkungan fisik dan berbagai bentuk hidup organisme.
Bertolak dari pengertian ekologi sebagai ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara mahkluk hidup dengan lingkungannya. Kita bisa menggunakan ilmu ini untuk kepentingan manusia.
Menurut Geertz (1983) ada dua macam pendekatan dalam ekologi yaitu:
1.      Pendekatan antropogeografi atau determinisme lingkungan
            Pendekatan antropogeografis atau determinisme lingkungan mengungkapkan sejauh mana cara kebudayaan manusia itu dibentuk oleh kondisi-kondisi lingkungan atau letak geografisnya. Faktor geografis memberikan peranan yang dinamis dalam perkembangan kebudayaan manusia.
2.      Pendekatan posibilisme
            Dalam pendekatan posibilisme dikemukakan bahwa lingkungan tidak dipandang sebagai sebab melainkan semata-mata sebagai pembatas atau penyeleksi saja.
Pendekatan determinisme lingkungan dan posibilisme tidak sepenuhnya memberikan jawaban bahwa tidak sepenuhnya kebudayaan dipengaruhi oleh lingkungan dan hanya pada tingkat tertentu saja.
c.       Ekologi Budaya
Menurut Steward (dalam Poerwanto, 2006:68) Cultural Ecology  yaitu ilmu yang mempelajari manusia sebagai mahkluk hidup menyesuaikan diri dengan suatu lingkungan geografi tertentu. Ada bagian inti dari sistem budaya yang sangat responsive terhadap adaptasi ekologis. Proses penyesuaian terhadap tekanan ekologis dapat mempengaruhi unsur-unsur inti dari suatu struktur sosial.
Pendekatan ekologi budaya menurut Steward (dalam Geertz 1983: 6), Pendekatan ekologi budaya adalah mengkaji keterkaitan hubungan antara teknologi suatu kebudayaan dengan lingkungannya. Dimana hal yang dianalisis adalah hubungan pola tata kelakuan dalam suatu komunitas dengan teknologi yang dipergunakan. Sehingga warga dari suatu kebudayaan dapat melakukan aktifitas dan dapat bertahan hidup. Selain itu juga menjelaskan hubungan dari pola-pola tata kelakuan tersebut dengan dengan berbagai unsur lain dalam sistem budayanya. Dan keterkaitan yang mempengaruhi sikap dan pandangan masyarakat, bentuk hubungan antara perilaku dengan kemampuan bertahan hidup dan kegiatan sosial antar pribadi dalam masyarakat.
Doktrin antropologi holistik menguraikan bahwa segala aspek kebudayaan itu saling bergantung dan saling berkaitan antar masalah kebudayaan dan lingkungan hidup dalam arti umum. Namun pandangan Steward berbeda dengan anggapan bahwa segala aspek kebudayaan saling berhubungan secara fungsional.
Steward (dalam Geertz, 1983:7)  berpendapat bahwa tingkat dan macam hubungan itu dalam segala aspek kebudayaan beragam. Berdasarkan analisis empiris telah dibuktikan bahwa unsur lingkungan menurut cara-cara kebudayaan adalah merupakan pusat perhatian dari ekologi kebudayaan.
Organisme dan lingkungan harus diperlakukan sebagai satu sistem, karena keduanya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sebuah sistem tersebut. Pada tingkat kebudayaan, misalnya jenis rumah Eskimo yang disebut iglo. Iglo dapat dipandang sebagai senjata kebudayaan yang paling penting dalam perjuangan orang Eskimo untuk mengalahkan iklim Kutub Utara. Dari rumah iglo, maka dapat dilihat bagaimana organisasi kekerabatannya dan pembagian kerja menurut jenis kelaminya. Maka dapat disimpulkan bahwa sifat adaptasi dan komunitas dari segi geografis juga merupakan adaptasi kebudayaan.
d.      Etnoekologi
Menurut Ahimsa (1994:6), bahwa studi antropologi ekologi di tahun 1960-an yang dibangkitkan oleh ekologi budaya dari Steward, maka dapat diklasifikasikan dalam empat aliran utama yaitu:
1). Pendekatan etnoekologi; aliran ini dicetuskan oleh ahli antropologi dengan latar belakang linguistik yang kuat. Tujuan dan metode dari pendekatan ini banyak berasal dari etnosains, dan pertama kali diperkenalkan oleh Conklin (1954) serta didukung oleh Frake.
2). Pendekatan ekologi silang budaya, pendekatan ini tampak dalam studi yang dilakukan oleh Netting (1968-1969) dan Goldschmid et al (1965). Neting melakukan penelitiannya di kalangan orang Kofyar di Nigeri tahun 1960-1962 dan dipengaruhi oleh ekologi budaya dari Steward.
3). Pendekatan ekosistemik kultural, aliran ini diwakili oleh buku Geertz yang berjudul Agricultural Involution (1963). Aliran ketiga dalam antropologi ekologi ini adalah pendekatan ekosistem. Kerangka teori/ paradigma ekosistem ini mendapatkan modelnya dari ilmu biologi dan ekologi umum.
4). Pendekatan ekosistemik material, aliran ini terdapat dalam berbagai studi yang dilakukan oleh para ahli antroplogi yaitu Andrew Vayda (1961,1967), Roy Rappaport (1967, 1968, 1971), Marvin Harris (1966), dan Antony Leeds(1965). Aliran ini adalah antropologi neo-fungsional (neo-fungsional ecologi)
Dalam antropologi pendekatan etnoekologi merupakan salah satu cabang aliran etnosains (ethnoscience) yang dipelopori oleh ahli-ahli antropologi dengan latar belakang linguistik yang kuat. Etnoekologi pertama kali diperkenalkan Conklin dalam uraiannya mengenai sistem perladangan dikalangan orang Subanun di Pulau Mindanao, Philipina. Ide ini kemudian didukung oleh Frake yang menekankan pentingnya pendekatan budaya dalam ekologi. Semenjak itu etnoekologi makin dikenal dan dipraktekkan oleh para ahli antropologi dalam berbagai penelitian (Ahimsa, 1997:54).
Penelitian etnoekologi pada dasarnya bertujuan untuk melukiskan sebagaimana lingkungan tersebut dilihat oleh masyarakat yang diteliti. Asumsinya adalah bahwa lingkungan efektif (effective environment) yakni lingkungan yang berpengaruh terhadap perilaku manusia mempunyai sifat kultural. Artinya, lingkungan fisik yang telah diinterpretasi, ditafsirkan lewat perangkat pengetahuan dan sistem nilai tertentu. Karena itu lingkungan fisik yang “objektif” sama dapat dilihat atau dipahami secara berbeda oleh masyarakat dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda. Lingkungan ini, disebut dengan ethnoenvironment merupakan bagian dari sistem budaya suatu masyarakat. Enthnoenvironment dikodifikasi dalam bahasa, sehingga untuk memahaminya harus memberikan perhatian pada bahasa sehari-hari masyarakat yang diteliti. Sistem pengetahuan masyarakat mengenai lingkungan tersebut terwujud dalam bentuk berbagai klasifikasi kategorisasi, dan taksonomi unsur-unsur lingkungan. Kajian etnoekologi tidak hanya mendeskripsikan mengenai isi serta sistem pengetahuan saja, tetapi juga model mengenai proses pengambilan keputusan untuk menghadapai suatu lingkungan atau keadaan tertentu (Ahimsa, 1997:55-56).
Dalam penelitian ini teori yang digunakan adalah  etnoekologi.









BAB III
METODE PENELITIAN

a.        Dasar Penelitian
Dasar penelitian menggunakan metode  kualitatif dengan pendekatan etnografi. Diharapkan dapat memberikan deskripsi mengenai bagaimanakah makna banjir Bengawan Solo bagi masyarakat Cepu sebuah kajian etnoekologi (studi kasus di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora) dari sudut pandang masyarakat setempat.

b.        Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini berada di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora. Lokasi ini adalah daerah yang mempunyai letak geografis terendah di kabupaen Blora. Selain itu sebagai tempat yang digunakan oleh masyarakat untuk melakukan aktifitas sehari-hari. Daerah ini juga relatif dekat dengan Bengawan Solo dan sering terkena dampak dari luapannya. Sebagian masyarakat mengandalkan Bengawan Solo sebagai tempat untuk mencari nafkah. Khususnya masyarakat yang berprofesi sebagai petani, penambang pasir dan pengrajin batako. Kehidupan masyarakat di Kecamatan Cepu tidak bisa lepas dari Bengawan Solo. Sehingga penulis memilih lokasi penelitian ini sesuai untuk mengetahui makna banjir Bengawan Solo bagi masyarakat Cepu.
c.         Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah warga kecamatan Cepu yang tinggal di bantaran Bengawan Solo berjumlah 20 orang dari berbagai lapisan sosial.
d.        Fokus Penelitian
  Fokus penelitian ini adalah makna banjir Bengawan Solo bagi masyarakat Cepu sebuah kajian etnoekologi (studi kasus di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora). Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai makna banjir Bengawan Solo bagi masyarakat Cepu maka perlu mempelajari beberapa hal yaitu:
1)      Persepsi masyarakat di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora. Persepsi masyarakat yang dimaksud adalah anggapan atau makna yang diberikan masyarakat mengenai banjir Bengawan Solo yang kerap terjadi.
b)      Histori atau sejarah masyarakat tinggal di sekitar Bengawan Solo.
c)      Tingkat pendidikan masyarakat pada umumnya.
d)     Pengetahuan masyarakat mengenai banjir (penyebab, dampak, penanggulangan).
e)      Kondisi psikologis masyarakat yang tinggal disekitar Bengawan Solo.
f)       Hubungan antara masyarakat dengan Bengawan Solo.
g)      Kepercayaan mengenai Bengawan Solo dalam masyarakat.
2)      Bahaya Banjir yang terjadi di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora.
a)      Jarak antara rumah sebagian masyarakat yang terkena banjir dengan Bengawan Solo.
b)      Kegiatan yang dilakukan sebelum, saat dan pasca banjir.
c)      Tinggi genangan banjir.
d)     Luas genangan banjir.
e)      Lama genangan banjir.
f)       Frekuensi banjir yang terjadi tiap tahun.
g)      Banjir terparah yang pernah terjadi.
h)      Banjir yang terjadi memakan korban jiwa warga masyarakat.
3)      Dampak saat dan pasca banjir terjadi di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora.
a)      Dampak imateriil
(1)   Dampak secara psikologis (perasaan was-was atau trauma pada banjir).
(2)   Dampak terhadap kesehatan (penyakit yang timbul dari adanya banjir).
(3)   Dampak terhadap kondisi fisik (perubahan atau cacat fisik yang terjadi akibat banjir)
b)      Dampak materiil
(1)   Kerugian materiil yang ditimbulkan akibat banjir.
(2)   Kegagalan panen akibat banjir yang terjadi.
(3)      Kerusakan sarana dan prasarana umum yang diakibatkan oleh banjir.
(4)      Kegiatan membersihkan rumah dan sarana dan prasarana umum pasca banjir.
(5)   Pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat saat banjir.
4)      Upaya penanganan banjir yang telah dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah.
a)      Tindakan yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah untuk menganggulangi banjir.
b)      Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat untuk membantu korban banjir.
5)      Penggunaan teknologi untuk memanfaatkan Bengawan Solo.
a)      Alat yang digunakan untuk mengambil air, pasir, MCK, ikan, dll. di Bengawan Solo.
b)      Alat yang digunakan untuk menyeberangi Bengawan Solo
6)      Penggunaan teknologi saat banjir.
a)      Alat yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
b)      Alat yang digunakan untuk sarana transportasi.


d.        Sumber Data
Sumber data  penelitian diperoleh dari:
1)      Informan
  Informan dalam penelitian ini yaitu:
a)      Aparatur pemerintah (Bapak Lurah, Pegawai BAPPEDA dan Camat) Cepu
Sebagai informan yang mempunyai kekuasaan dan mengetahui seluk beluk dari kondisi geografis maupun demografi dari Kelurahan Cepu Kecamatan Cepu Kabupaten Blora. Misalnya jumlah penduduk, mata pencaharian, tingkat pendidikan, agama yang dianut, dll. Langkah yang ditempuh peneliti untuk menentukan informan adalah mendatangi kelurahan Cepu untuk memberikan surat penelitian kepada Lurah Cepu, namun oleh aparatur kasub. Pemerintahan, penulis diminta untuk mengajukan permohonan ijin ke beberapa lembaga pemerintahan yaitu:
1.      KESBANGPOLINMAS (Kesatuan Kebangsaan Politik Dan Lindungan Masyarakat),
2.      BAPPEDA (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah)
Setelah  penulis mendapatkan surat ijin riset maka penulis mulai melakukan penelitian. Pada tahap awal penulis mengungkap maksud dan tujuan mengadakan penelitian dengan menunjukkan surat ijin yang diberikan oleh lembaga atau instansi yang bersangkutan. Kemudian menemui Lurah Cepu, namun oleh beliau dianjurkan untuk menemui Bapak Camat Cepu Bp. Slamet. Karena Bapak Slamet mempunyai data lebih lengkap dari pada di Kelurahan. Bapak Camat Cepu sebagai informan kunci, untuk mendapakan informasi mengenai dan banjir Bengawan Solo, dan kondisi demografis masyarakat Cepu, melakukan wawancara seputar Bengawan Solo dan penanganan  serta pemberian bantuan saat banjir Bengawan Solo. Kemudian  meminta bantuan kepada Bp. Irwan seorang pegawai BAPPEDA bag. SDA untuk melakukan wawancara seputar pembangunan Bengawan Solo dan pemanfaatan Bengawan Solo.
b)      Tokoh masyarakat seperti ketua RT, ketua RW dan warga yang tinggal di sekitar Bengawan Solo. Fokus pertanyaan mengenai pengetahuan tentang bahaya banjir, alat/teknologi yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sebelum dan saat banjir, aturan (norma) yang mengatur hubungan antara masyarakat dan Bengawan Solo, dan kebudayaan masyarakat yang tinggal disekitar Bengawan Solo.

2)      Dokumentasi
Dalam penelitian ini, selain diperoleh data dari narasumber, sebagai bahan tambahan diperoleh dari sumber tertulis yang bersumber dari arsip dan dokumen terkait. Arsip dan dokumen yang digunakan meliputi data monografi Kecamatan Cepu Kabupaten Blora.
Sumber tertulis dalam penelitian ini adalah data monografi Kecamatan Cepu Kabupaten Blora mengenai catatan keadaan penduduk dan keterangan-keterangan yang dapat menambah data atau informasi yang masih berkaitan dengan fokus penelitian. Buku-buku yang berkaitan dengan fokus penelitian.
3)      Data Monografi
Data monografi dapat membantu memberikan gambaran tentang subjek pada latar penelitian. Data monografi membantu peneliti mempelajari komposisi penduduk dari segi jenis kelamin, usia, pekerjaan, pendidikan dan luas wilayah Kecamatan Cepu Kabupaten Blora. Data monografi ini didapatkan dari Kelurahan, Kecamatan, BAPPEDA dan KESBANGLINMAS.
e.         Metode Pengumpulan Data
      Untuk memperoleh data yang lengkap dalam melakukan analisis data dan mengolah data, maka digunakan beberapa metode pengumpulan data sebagai berikut:
1)      Observasi
                         Metode observasi dilakukan untuk mengamati secara langsung mengenai kondisi lingkungan, kebiasaan, aktivitas yang dilakukan oleh warga masyarakat Cepu  sehari-hari di sekitar Bengawan Solo. Dalam hal ini berarti penulis terjun langsung dalam lokasi penelitian yang merupakan tempat yang sering terkena luapan dari Bengawan Solo. 
Tujuan utama dari observasi adalah untuk mengamati tingkah laku manusia sebagai peristiwa aktual yang memungkinkan kita memandang tingkah laku sebagai proses. Untuk mempermudah pengamatan dan ingatan maka penelitian ini menggunakan catatan-catatan, kamera, pengamatan, pemusatan data dan menambah persepsi tentang objek yang diamati.
Pelaksanaan observasi dilakukan pada tanggal 21 Juni- 2 Juli 2009 dengan cara mengamati aktifitas dan perilaku masyarakat yang tinggal di bantaran Bengawan Solo. Dengan demikian manfaat yang diperoleh antara lain:
a.       Melalui observasi akan diperoleh data berdasarkan pengalaman langsung.
b.      Observasi memungkinkan dapat melihat dan mengamati sendiri kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan sebenarnya.
c.       Observasi memungkinkan dapat mencacat peristiwa dalam situasi yang sesuai dengan fokus penelitian.
Observasi dapat mengungkap hal-hal dan memperoleh data-data yang tidak bisa diperoleh dengan cara wawancara. 

2)      Wawancara
                         Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode wawancara terpimpin dan metode wawancara mendalam (indepht interview). Wawancara terpimpin yaitu wawancara yang dilakukan oleh pewawancara dengan membawa sederetan pertanyaan lengkap dan terperinci. Wawancara mendalam (indepht interview) mengenai persepsi masyarakat di sekitar Bengawan Solo yaitu  Kelurahan Cepu Kecamatan Cepu Kabupaten Blora. Jenis pertanyaan yang diajukan menyangkut pengetahuan, budaya, pengalaman informan. Serta menggunakan alat bantu berupa note book atau catatan untuk mencatat semua semua hasil pengumpulan data. Terutama istilah-istilah local yang tidak diketahui oleh penulis.
                         Wawancara yang dilakukan dengan subyek pada penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh keterangan lebih rinci dan mendalam mengenai persepsi, pengetahuan dan latar belakang serta kondisi masyarakat yang tinggal sekitar Bengawan Solo.
                         Wawancara juga dilakukan dengan informan kunci untuk mengkroscek data informan dari subyek. Dalam penelitan ini wawancara dilakukan secara mendalam. Wawancara secara mendalam dilakukan secara langsung bertatap muka dengan informan dengan maksud mendapatkan gambaran lengkap tentang hal-hal yang berhubungan dengan persepsi, pengetahuan dan latar belakang serta kondisi masyarakat yang tinggal sekitar Bengawan Solo. Wawancara mendalam dilakukan kepada informan dan subjek guna mendapatkan data yang diharapkan oleh peneliti.
 Wawancara dilakukan secara bertahap yaitu :
a)        Wawancara kepada Aparatur pemerintah (Bapak Camat Cepu, Pegawai BAPPEDA Kabupaten Blora). Terutama Camat Cepu sebagai informan kunci yang mempunyai kekuasaan dan mengetahui seluk beluk dari kondisi geografis maupun demografi dari Kecamatan Cepu Kabupaten Blora. Misalnya jumlah penduduk, mata pencaharian, tingkat pendidikan, agama yang dianut, dll.
b)        Wawancara kepada tokoh masyarakat seperti ketua RT, ketua RW dan warga yang tinggal di sekitar Bengawan Solo yang sering terkena banjir  untuk mengetahui persepsi, pengetahuan dan latar belakang serta kondisi masyarakat yang tinggal sekitar Bengawan Solo.
Langkah-langkah yang dilakukan setelah mendatangi informan ditempat dan waktu yang telah disetujui bersama adalah mengungkapkan maksud dan tujuan wawancara. Kedua, memberikan pertanyaan awal tentang diri pribadi informan dan menyatakan hal-hal yang berkaitan dengan banjir Bengawan Solo. Ketiga, mengajukan pertanyaan yang telah disusun berkaitan dengan masalah yang akan diungkap dalam penelitian.
Wawancara dalam penelitian ini dilaksanakan kepada warga Kecamatan Cepu Kabupaten Blora yang tinggal di bantaran  Bengawan Solo. Selain itu, peneliti juga dapat mengadakan wawancara dengan informan seperti aparatur pemerintahan (Bapak Camat Cepu, Pegawai BAPPEDA Kabupaten Blora). Pada proses wawancara ada yang dilaksanakan di rumah informan maupun pada saat informan bekerja.
(1)      Wawancara dengan lurah Cepu Bp. Maryono dilakukan  dikantor kelurahan pada tanggal 22 Juni 2009  pukul 10.00 dengan fokus pertanyaan mengenai keadaan monografi masyarakat Cepu, tingkat pendidikan, mengenai pemanfaatan Bengawan Solo dan banjir Bengawan Solo, dll.
(2)      Wawancara dengan Camat Cepu Bp. Slamet dilakukan  dikantor kecamatan pada tanggal 24 Juni 2009  pukul 13.00 untuk melakukan wawancara mengenai keadaan demografi masyarakat Cepu, tingkat pendidikan, mengenai pemanfaatan Bengawan Solo, seputar Bengawan Solo dan penanganan  serta pemberian bantuan saat banjir Bengawan Solo.
(3)      Wawancara dengan kepada Bp. Irwan seorang pegawai BAPPEDA bag. SDA dilakukan  dikantor BAPPEDA  pada tanggal 25 Juni 2009  pukul 09.00 untuk melakukan wawancara seputar pembangunan Bengawan Solo dan pemanfaatan Bengawan Solo.
(4)      Wawancara dengan tokoh masyarakat dan masyarakat  yang tinggal di sekitar bengawan solo. Dilakukan dirumah, dibawah jembatan, warung kopi, diatas jembatan lama pada pagi, siang dan sore hari. Wawancara berlangsung tanggal 26 Juni-1 Juli 2009.
Wawancara dilakukan terus menerus sampai peneliti memperoleh data yang lengkap. Namun peneliti sewaktu-waktu kembali ke lokasi penelitian jika ternyata data yang diperoleh kurang lengkap. Alat yang digunakan dalam wawancara adalah alat tulis dan pedoman observasi.

3)      Dokumentasi dan Foto
      Dalam penelitian dokumentasi dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang diperlukan, yaitu data yang diperoleh dari kegiatan observasi, hasil wawancara, data monografi dan foto yang dihasilkan oleh peneliti tentang perilaku serta situasi dan kondisi lingkungan masyarakat saat terjadi banjir dan sesudahnya juga terkait dengan makna banjir Bengawan Solo bagi masyarakat Cepu.                                           
      Pengambilan foto dilaksanakan pada saat observasi dan wawancara. Foto yang diambil adalah foto keadaan lingkungan dan kondisi masyarakat sebelum dan saat banjir terjadi. Foto tersebut digunakan untuk memperkuat validitas data.  Foto sebelum banjir di ambil saat melakuan observasi 25-26 Juni 2009. Sedangkan foto saat banjir diambil pada tanggal 1 januari 2008 ketika banjir besar terjadi di Kecamatan Cepu.

f.       Validitas Data
         Validitas data merupakan salah satu bagian yang sangat penting dalam penelitian kualitatif, untuk mengetahui derajad kevalidan dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen (Suharsimi, 2002:144). Untuk mendapatkan validitas data dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik triangulasi sebagai teknik pemeriksaan data.
         Triangulasi dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik pemeriksaan data dengan memanfaatkan penggunaan sumber dan metode yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data. Teknik ini membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara dan dokumentasi serta pengecekan penemuan hasil penelitian dari beberapa kumpulan data yang diperoleh.
         Teknik triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan suatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 2002:178).
Dalam penelitian ini teknik triangulasi dilakukan dengan :
                                    1)      Membandingkan data dari metode wawancara dengan  metode pengamatan atau observasi.
                                    2)       Membandingkan data dari hasil wawancara dengan isi dari suatu dokumen.
         Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Moleong (2002) diatas, maka dalam penelitian dilakukan perbandingan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara yaitu dengan cara:
(a)        Membandingkan apa yang dikatakan oleh informan mengenai persepsi masyarakat terhadap bahaya banjir Bengawan Solo di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora.
(b)       Membandingkan apa yang dikatakan oleh masyarakat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan situasi penelitian (persepsi masyarakat terhadap bahaya banjir Bengawan Solo di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora) dengan apa yang dikatakan aparatur pemerintah.
(c)         Membandingkan keadaan dan perspektif informan dengan pendapat dan pandangan orang yang dianggap mempunyai pengetahuan lebih tinggi tentang fokus penelitian.
g.      Metode Analisis Data
            Data yang telah diperoleh di lapangan dari hasil pengamatan selanjutnya dianalisis. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis interaktif. Model analisis interaktif ini dilakukan dengan tiga langkah yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.


 









Bagan 2. Komponen-komponen analisis data model interaktif (Miles dan Huberman, 1992:20).
                Pelaksanaan analisa data dalam penelitian ini sebagai berikut :
1)      Reduksi data
      Reduksi data merupakan proses menyeleksi, pemfokusan,  penyederhanaan dan abstraksi. Reduksi data dilakukan melalui seleksi membuat ringkasan atau uraian singkat, memfokusan dan mengabraksi data mentah menjadi ynag bemakna. Proses ini berlangsung selama pelaksanaan penelitian, yaitu pada awal penelitian sampai dengan laporan penelitian. Reduksi data dimaksudkan untuk mempertegas, memperpendek, membuat fokus dan membuang bagian yang tidak penting untuk mempermudah penarikan kesimpulan.
2)      Display data
      Display data proses menampilkan data secara sederhana berbentuk naratif. Dalam penyajian data berwujud sekumpulan informasi yang tersusun sehingga memberikan penarikan kesimpulan. Display data dilakukan agar sajian data tidak menyimpang dari pokok permasalahan.
3)      Pengambilan Kesimpulan dan Verifikasi
      Usaha untuk mencari atau memahami makna dari data yang disimpulkan kemudian diverifikasikan dengan melihat dan mempertanyakan kembali data atau catatan lapangan agar memperoleh pemahaman yang tepat. Hal ini dilakukan agar data yang didapat dan penafsiran data mempunyai validitas.






BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

1.      Hasil Penelitian
a.       Gambaran umum masyarakat Kecamatan Cepu Kabupaten Blora.
Kecamatan Cepu merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Kecamatan ini terletak di perbatasan dengan provinsi Jawa Timur. Kecamatan Cepu mempunyai 17 kelurahan yaitu Balun, Cabean, Cepu, Gadon, Getas, Jipang, Kapuan, Karang Boyo, Kentong, Mernung, Mulyorejo, Ngelo, Nglanjuk, Ngloram, Ngroto, Sumberpitu, dan Tambakromo.
Sebelah Utara                 : Desa Biting Kecamatan Sambong
Sebelah Timur                : Desa Dengok Kecamatan Padangan
Sebelah Selatan              : Desa Panolan Kecamatan Kedung Tuban
Sebelah Barat                 : Desa Gadu Kecamatan Sambong.
           Masyarakat di kecamatan cepu dalam pergaulan sehari-hari menggunakan bahasa jawa.
Ditinjau dari distribusi penduduk menurut luas wilayah, jenis kelamin, jumlah dan kepadatan penduduk di kecamatan cepu sebagai berikut:
Tabel. 1 distribusi penduduk menurut luas wilayah, jenis kelamin, jumlah dan kepadatan penduduk di kecamatan cepu:
No
Uraian
Jumlah
1
Luas wilayah (km2)
49,15
2
Penduduk laki-laki
38.033
3
Penduduk perempuan
38.033
4
Kepadatan (jiwa/km2)
1.529
    Sumber: data monografi kecamatan cepu 2008
Jumlah penduduk di Kecamatan Cepu adalah 76.774 orang. Terdiri atas 38.033 laki-laki dan 38.033 perempuan. Dengan 17 desa/kelurahan dan luas wilayah 49,15 km2, kepadatan penduduk di Kota Cepu 1.529 orang/km2. Penduduk kecamatan cepu menunjukan kepadatan paling tinggi dari 9 kecamatan yaitu mencapai 1.529 jiwa/km. Karena kota cepu merupakan pusat kegiatan industri yang didukung adanya sumber minyak yang sangat potensial. Apabila diukur dengan kriteria lingkungan (L.W. canter & L.G. hill, 1981), maka dapat dikategorikan kondisi sangat baik.
Dilihat dari pendidikan maka dapat digambarkan sebagai berikut:
No
Pendidikan
Jumlah
1
Belum sekolah
6465
2
Tidak tamat SD
3315
3
Tamat SD /sederajat
32456
4
Tamat SMP/sederajat
15755
5
Tamat SMA/sederajat
12262
6
Tamat akademi/sederajat
3206
7
Tamat perguruan tinggi
3182

total


Dilihat dari jumlah pemeluk agama maka dapat di gambarkan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel. Penduduk menurut agama
No
Agama
Jumlah
1
Islam
67.381 orang
2
Katholik
2.894 orang
3
protestan
3.319 orang
4
Budha
914 orang
5
Hindu
21 orang
6
Aliran kepercayaan
1.387 orang
Berdasarkan tabel diatas penduduk kecamatan cepu bersifat heterogen dalam memeluk agama, karena dari ke lima agama yang ada di Indonesia ada yang memeluk. Namun mayoritas penduduk kecamatan cepu memeluk agama islam.
Dilihat dari tingkatan usia, penduduk kecamatan cepu dapat digolongkan menjadi tujuh  kelompok umur dengan gambaran sebagai berikut:
Tabel. Penduduk menurut usia
No
Kelompok umur
Jumlah
1
0 - 6 tahun
9.726 orang
2
7 - 12 tahun
8.479 orang
3
13 - 18 tahun
11.562 orang
4
19 – 24 tahun
12.433 orang
5
25 - 55 tahun
24.800 orang
6
56 - 79 tahun
7.065 orang
7
80 - keatas
2.576 orang

Jumlah
76.774 orang

Jika ditinjau dari mata pencaharian maka penduduk kecamatan cepu sangatlah beragam. Hal tersebut sesuai dengan tabel sebagai berikut:
No
Jenis pekerjaan
Jumlah
1
petani
6.553 orang
2
Pengusaha
892 orang
3
Pengrajin
641 orang
4
Buruh tani
682 orang
5
Buruh industri
3627 orang
6
Buruh bangunan
3744 orang
7
Buruh pertambangan
478 orang
8
Perkebunan
71 orang
9
Pedagang
4503 orang
10
Pengangkutan
771 orang
11
Pegawai negeri sipil
4012 orang
12
ABRI
162 orang
13
Pensiunan
1463 orang
14
Peternak 
7796 orang
Dari tabel tersebut maka mayoritas penduduk kecamatan cepu berprofesi sebagai peternak dan petani. Peternak yang terdapat di kecamatan cepu adalah peternak sapi, kambing, domba, kuda, ayam dan itik. Petani yang menggantungkan pada sungai Bengawan Solo sebagai sumber air karena area persawahan yang ada merupakan sawah tadah hujan.

b.      Etnoekologi Daerah Aliran Sungai (DAS) Solo di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora
Bengawan Solo merupakan sungai terpanjang dan terbesar yang ada di Pulau Jawa. Mempunyai panjang + 540km, dan luas + 20.125km. Mengalir melewati 9 kabupaten di Jawa Tengah antara lain Wonogiri, Klaten, Sukoharjo, Blora, Karanganyar, Boyolali, Sragen, Surakarta dan Rembang. Juga melewati 11 kabupaten di Jawa Timur antara lain Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Gresik, dan Surabaya, dll.
Daerah aliran sungai Solo merupakan suatu sistem pengaliran sungai yang terletak di bagian timur Kabupaten Blora. Secara administratif, DAS solo terletak pada 9 Kecamatan, yaitu Kedungtuban, Randublatung, Cepu, Jiken, Jepon, Banjarejo, Kradenan, Jati Dan Kecamatan Sambong. Secara geografis DAS Solo terletak antara 1110 14 BT s/d 1110 37 Bt serta terletak pada 60 45 LS s/d 70 23 LS. DAS Solo mempunyai luas sekitar 95.328 ha atau hampir sepertiga luas Kabupaten Blora.
Penggunaan lahan DAS Solo di Kabupaten Blora, dapat dikelompokan menjadi 2 kelompok besar, yaitu lahan sawah dan lahan kering. Dari luas wilayah DAS solo yang meliputi 9 kecamatan seluas 111.755,16 ha.
Tabel penggunaan lahan das solo di kabupaten blora
No
Penggunaan lahan
persentasi
1
Hutan
58,84%
2
Sawah
20,91%
3
Tegalan
10,09%
4
Pekarangan dan bangunan
8,95%
(sumber: data bag. lingkungan hidup pemerintahan kabupaten blora 2006)
 Dari tabel diatas maka penggunan lahan sebagian besar terdiri dari hutan yang mencapai 58,84%. Selebihnya sawah 20,91%, tegalan 10,09% dan bangunan/pekarangan 8,95%. Hal tersebut menunjukan bahwa persentase terbesar penggunaan lahan untuk hutan kemudian dikuti sawah, yang berarti bahwa sebagian besar penduduk wilayah SDA Solo mengandalkan sektor kehutanan dan pertanian untuk menopang kehidupannya.
Tabel. Luas lahan dan penggunaan lahan di das solo kabupaten blora
no
kecamatan
Penggunaan lahan
Bangunan/
pekarangan
Sawah
Tegalan
Hutan
Tanah lainnya
1.
Jati
1.448,579
2.672,821
935,200
13.195757
109,692
2.
Randublatung
1.553,556
3.502,793
2.025,401
13.869155
162,192
3.
Kradenan
1.076,129
2.271,256
1.023,383
6.483,485
96,589
4.
Kedungtuban
1.182,368
4.673,356
1.087,443
3.559,427
183,220
5.
Cepu
1.028,355
2.061,850
937.695
477,607
409,028
6.
Sambong
519,453
1.281,343
1.032,870
5.898,963
142,379
7.
Jiken
717,156
1.614,147
966,229
13.445386
73,742
8.
Jepon
1.164,998
2.552,448
2.191,947
4.768,915
94,074
9.
Banjarejo
1.308,683
2.733,447
2.168,127
4.061,390
80,569

Jumlah
9.999,28
2.336,346
11.280,85
6.576,009
135,149

persentasi
8,95
20,91
10,09
58,84
1,21
(sumber: kabupaten blora dalam angka 2004)
Dari tabel diatas penggunaan lahan paling luas terdapat di kecamatan randublatung, sedangkan penggunaan lahan untuk tegalan paling luas dikecamatan jepon 2191,95 ha atau 1,96% dari jumlah luas lahan DAS Solo. Penggunaan tanah lainnya seperti penggunaan lahan untuk kolam, rawa, perkebunan dan penggunaan lainnya, paling luas berada di Kecamatan Cepu sekitar 409,028 ha.
c.       Pandangan masyarakat Kecamatan Cepu mengenai Bengawan Solo dan pemanfaatannya.
         Bagi masyarakat cepu keberadaan bengawan solo lebih banyak memberikan manfaat dari pada resiko yang ditimbulkannya, misalnya banjir. Pemanfaatan bengawan solo oleh masyarakat sekitar bengawan solo didasarkan pada suatu pandangan. Bapak Harto (55 tahun) menyatakan:
        “wong kene bebas nganggo ngawan iki, mbak. Arep dok nggo kungkum, mancing, mbuwak sampah, opo ae lah, ra ono sing nglarang, mbak. Wong ngawan iki yo… duwe e wong akeh”. (wawancara 26 juni 2009 di desa cepu kidul pukul 10.00 WIB).
Menurut ibu waginem (45 tahun) menyatakan:
  “senajan ning kene sering banjir, tapi kon piye meneh mbak. Dene keluargaku iso mangan bendino yo amargo ono ngawan. Nek isuk bojoku budal ngeduk pasir, nek sore aku dodol kopi ning nduwur brug kono”.  (wawancara 26 juni 2009 di Desa Cepu Kidul pukul 13.00 WIB).
            Pandangan semacam ini hampir merata di kalangan masyarakat cepu. Dari hasil observasi masyarakat juga memanfaatkan bengawan solo untuk membuang sampah.
Menurut sumiyati (35 tahun) menyatakan:
“saya sering membuang sampah di “ngawan” tapi nanti kalo banjirkan hilang sendiri sampahnya, kebawa banjir. Sungai inikan sungai besar, toh mbak”.

         Masyarakat berasumsi bahwa “ngawan” (istilah lokal untuk menyebut bengawan solo) adalah sungai yang besar, maka setiap kali sampah itu dibuang maka akan hanyut dengan sendirinya. Apalagi jika banjir datang maka sampahpun akan hanyut bersamanya.
berikut merupakan pemanfaatan bengawan solo berdasarkan 2 pembagian daerah bengawan solo:
Akuatik (perairan)
Daratan (tanah/pasir)
Sumber air: PDAM dan PAM migas
Sumber air irigasi
Sarana transportasi
Sumber ikan
rekreasi
Tambang pasir

Petanian
kehutanan
Tempat membuat batako
Pemukiman
  Masyarakat di kecamatan cepu merupakan  salah daerah yang banyak memanfaatkan bengawan solo untuk kegiatan sehari-hari.  Manfaat dari bengawan solo dari segi akuatik (perairan) yaitu:
1). sumber air PDAM dan PAM Migas
Sumber air PDAM dan PAM dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakat cepu untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih. Untuk wilayah kelurahan cepu hampir semua menggunakan air PDAM, karena sulitnya membuat sumur. Walau adapula daerah yang bisa dibuat sumur, hal ini disebabkan karena tidak terdapat padas dibawah permukaan tanah. Menurut warga sitimulyo, ibu suharmi (52 tahun) menyatakan:
“dulu tahun 1980, suami saya pernah menyuruh orang untuk membuatkan sumur. Namun pada kedalaman 50m belum keluar air, karena ada padas yang cukup keras di dalam tanah. Sejak saat itu sampai sekarang saya menggunakan air ledeng. Walaupun airnya keruh seperti itu”

 Kualitas air yang diperoleh dari PDAM dan PAM Migas sangat jauh berbeda. Untuk air PDAM itu lebih keruh jika dibandingkan dengan PAM Migas. Karena mesin yang digunakan oleh PDAM adalah mesin tinggalan Belanda, sedangkan untuk PAM Migas mesinnya baru jadi untuk pengolahannya lebih baik. Menurut suwarti (30 tahun):
“banyu pam warnane buthek koyo jamu beras kencur, tapi anane yo mung kuwi. Akhire bojoku ngawe tandon, nek banyune pam kebak di kek i trawas karo kaporit lagek di ilekno ning jeding. Kanggo masak, bojoku jikuk banyu ning pam migas ning mentul nganggo jrigen”.
   
“air pam warnanya keruk seperti jamu beras kencur, tapi adanya Cuma air itu. Akhirnya suamiku membuat tandon, kalo air pam sudah penuh, kemudian diberi trawas dan kaporit lalu dialirkan ke bak mandi. Untuk memasak, suami saya mengambil air di pam migas mentul memakai jerigen”.

2). Sumber air irigasi
   Sebagian besar pertanian di Kecamatan Cepu merupakan pertanian tadah hujan, yang menggantungkan pada musim penghujan. Bengawan solo sebagai sumber air irigasi, maka petani tidak terlalu menggantungkan pada musim. Menurut joyo jamin (56 tahun):
“banyu ngawan iku biasane tak didisel kanggo manyuni jagung, semongko, tandur pari, pas gak enek udan”.

3). Sarana transportasi
   Masyarakat yang berada di Desa Ngoken biasanya memanfaatkan bengawan solo sebagai sarana transportasi untuk pergi ke kota cepu. Karena untuk pergi ke kota cepu melalui jalan darat, masyarakat yang tinggal di Desa Ngoken harus memutar dan memerlukan waktu yang cukup banyak. Apabila menggunakan jalur air maka cukup 15 menit saja menyeberangi Bengawan Solo dengan menggunakan perahu. Menurut ibu suminah (47 tahun):
“saben isuk jek peteng kiro-kiro jam setengah papat aku numpak prau ning cepu. Dodol janganan ning pasar, terus awane jam 12.00 WIB aku mulih ning omah. Numpak prau murah mung mbayar 1000 rupiah. Nek numpak ojek opo dokar yo nganti 10.000 iku nek pas banjir tok”.

Sedangkan bagi penambang pasir menggunakan bengawan solo untuk mengangkut pasir dengan perahu bermesin. Menurut pak hardi (45 tahun ) seorang penambang pasir menyatakan:
“setiap pagi saya berangkat menyusuri ngawan dengan menggunakan perahu untuk mengambil pasir di daerah mbetet”.

4)      Sumber ikan
Bengawan solo merupakan sungai besar yang banyak ikannya. Ada bemacam-macam jenis ikan seperti: ikan jendil, ikan bader, ikan dendeng, ikan mujair, ikan gabus, ikan tengil, ikan rengkik, ikan lele, ikan mas, ikan sepat, ikan wader, ikan kuthuk, ikan sapu-sapu, dll. Masyarakat di desa Cepu kidul menggunakan pancing untuk mengambil ikan. Namun jika “pladu”, masyarakat mengambil ikan dengan jaring, karena hasilnya lebih banyak. Ada dua versi yang menyebabkan pladu di bengawan solo. Pertama karena dibukanya pintu air waduk gajah mungkur dan yang kedua adalah dibuangnya limbah tekstil dari daerah solo. Namun untuk pladu yang kedua ini kualitas ikannya tidak bagus. Menurut pak sudjono (39 tahun):
            “kalo pladu banyak ikan yang teler, menangkapnya lebih ganmpang. Lalu ikannya bisa dijual atau dimasak, lumayan buat tambahan”.
  



5)      Tempat rekreasi
         Setiap sore banyak yang memanfaatkan bengawan solo untuk memancing. Para pemancing berasal dari berbagai daerah di sekitar kecamatan cepu dan Jawa timur seperti padangan, ngawi, dan bojonegoro. Para pemancing yang berasal dari kecamatan cepu menggunakan perahu tembo (perahu kecil) dan gethek (semacam rakitan bambu yang dibawahnya dipasangi ban dalam truk bisa untuk 2 orang) untuk memancing ditengah bengawan solo. Salah seorang pemancing, nurdin (29 tahun) berasal dari padangan:
         “ saya sering memancing di sini (bengawan solo), kadang seminggu dua kali, saya kesini dengan anak saya”.

         Sedangkan jembatan lama diatas bengawan solo juga digunakan untuk memancing lokal dan luar kecamatan cepu. Digunakan juga sebagai tempat berkumpul anak-anak muda, dan hal ini dimanfaatkan oleh penjaja makanan untuk berjualan di sana.
6)      Tambang pasir
                  Masyarakat memanfaatkan bengawan solo sebagai tempat mencari nafkah dengan menjadi penambang pasir. Ada dua orang pengepul pasir terbesar di kota cepu. Bu ngastini (45 tahun) dan mbah ji (67 tahun), mereka berdua memanfaatkan tanah di bantaran bengawan solo untuk mengepul pasir. Khusus untuk bu ngastini, pasir yang dibeli dari penambang pasir di olah kembali menjadi batako dan bis (tabung yang biasanya digunakan sebagai tepi sumur). Dalam memanfaatkan tanah tersebut ibu ngastini dan mbah ji tidak membayar pajak kepada pemerintah karena masyarakat yang dinggal dibantaran boleh memanfaatkannya secara bebas. Ibu ngastini (45 tahun) mengemukakan:
         “tanah disini milik orang banyak boleh dimanfaatkan oleh siapapun yang mau, asalkan ijin dengan kami warga yang tinggal di pinggir ngawan”.

                  Ada dua macam cara dan alat yang dilakukan oleh masyarakat di kecamatan cepu untuk mengambil pasir di dasar bengawan solo. Pertama   yaitu dengan cara tradisional yaitu dengan tenaga manusia dengan menggunakan perahu. Cara mengambil pasir atau istilahnya ngeduk pasir dilakukan oleh 3 orang sampai 5 orang. Adapun pemabgian tugasnya adalah sebagai berikut:
      (a).
      (b).
      (c).
d.      Makna banjir bagi masyarakat Kelurahan Cepu Kecamatan Cepu Kabupaten Blora
1). Persepsi masyarakat mengenai banjir bengawan solo
Bagi masyarakat Cepu keberadaan Bengawan Solo merupakan anugrah dari Sang Pencipta. Banyak manfaat yang diberikan oleh bengawan solo
b)      Bahaya banjir
Dalam memahami banjir masyarakat kecamatan cepu mempunyai indikator-indikator untuk mengambil sikap dan tindakan yang harus dilakukan. Banjir besar yang terjadi sepanjang 15 tahun trakhir adalah tahun 1993 dan 2007 akhir.
c)Dampak saat dan pasca banjir
Banyak kerugian dari adanya banjir bengawan solo, disamping ada pula keuntungan yang didapatkan. Kerugian immateriil yang tidak biasa diangkakan maupun kerugian materiil yang jumlahnya tidak sedikit.
d)     Penanganan banjir
Penanganan banjir yang sudah di lakukan oleh pemerintah daerah blora adalah dengan membuat bendungan karangnongko di desa mendenrejo. Pembangunan bendungan ini akan selesai sekitar tahun 2011. Bapak irwan pegawai bappeda kab blora mengemukakan:
      “bengawan solo merupakan sungai yang besar, untuk setiap pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten blora harus mengajukan ijin dulu ke pusat. Sekarang di desa mendenrejo sedang dibuat bendungan, itu juga atas persetujuan dari pusat”.

e)Penggunaan teknologi untuk memanfaatkan bengawan solo.
























BAB V
PENUTUP

a.      Kesimpulan
       Setiap individu di dalam masyarakat mempunyai intepretasi atau persepsi yang berbeda-beda dalam menanggapi suatu keadaan tertentu. Seperti halnya dengan masyarakat di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora, dalam menghadapi banjir yang kerap terjadi. Masyarakat kota cepu telah beradaptasi dengan lingkungannya. Terbukti dengan pemanfaatan bengawan solo dengan menggunakan teknologi dan cara memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu juga pegambilan keputusan untuk menggungsi saat terjadi banjir Bengawan Solo.
b.      Saran-saran
1)      Bagi Pemerintah
Sebaiknya dalam menangani masalah banjir dilakukan secara holistik. Sebelum banjir itu terjadi pemerintah sudah melakukan upaya preventif. Misalnya dengan pembuatan bendungan untuk Bengawan Solo.  Memberikan hukuman kepada masyarakat untuk tidak membuang sampah di sungai dan bagi pengeruk pasir sungai dengan mesin penyedot. Dan saat banjir terjadi pemerintah wajib memberikan bantuan obat dan makanan, serta pakaian bersih dan kering. Serta membangun tenda-tenda pengungsian.
2)      Bagi Masyarakat
Masyarakat harus ikut berpartisipasi dalam menjaga kelestarian lingkungan sekitarnya. Terutama yang tinggal dibengawan solo jangan membuang sampah di sungai, menggunakan mesin penyedot untuk mengeruk pasir.


















DAFTAR PUSTAKA
Alikondra, Hadi S., dkk. 2004. Bumi Makin Panas, Banjir Makin Luas: Menyibak Tragedi Kehancuran Hutan.  Bandung: Penerbit Nuansa.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.      Jakarta: Rineka Cipta.
Asdak, Chay. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogjakarta: Gajah Mada University Press.
-----------------. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogjakarta: Gajah Mada University Press.
Bennett, John W. 1976. The Ecological Transition: Cultural Antropology And Human Adaptation. New York: Pergamon Press.
Bratha, Inyoman. 1991. Pembangunan Desa Berwawasan Lingkungan. Jakarta: Bumi Aksara.
Dayakisni, Tri dan Salis Yuniardi. 2003. Psikologi Lintas Budaya. Malang: UMM PRESS.
Dove, Michael R dan Sugeng Martopo. 1987. Manusia dan Alang-Alang Di Indonesia.Yogjakarta: Universitas Gajah Mada PRESS.
DS, Handojo Adi Pranowo. 1985. Manusia dan Hutan: Proses Perubahan Ekologi di Lereng Gunung Merapi. Yogyakarta: Gajah Mada University PRESS.
Dwidjoseputro, D. 1990. Ekologi, Manusia dan Lingkungannya. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama.
Geertz, Clifford. 1983. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi Di Indonesia. Jakarta: Bhrata Karya Aksara.
Harwantiyoko dan Nelje F Katuuk. 1993. Pengantar Sosiologi dan Ilmu  Sosial Dasar. Jakarta: Gunadarma PRESS.
Ihromi, T.O. 1986. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: PT. Gramedia.
Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi 2. Klasik dan Modern. Terjemahan  Robert M. Z. Lawang. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Joyomartono, Mulyono. 1991. Perubahan Kebudayaan Dan Masyarakat Dalam Pembangunan. Semarang: IKIP Semarang Press.
Kaplan, David dan Robert A. Manners. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Kodoatie, Robert J dan Rostam Syarif. 2005. Teknik sumber daya air. Jakarta: Erlangga.
Koentjaraningrat. 1977. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta. PT. Dian Rakyat.
---------------------. 2000. Pengantar  Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Miles, Matthew B dan A Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-metode Baru. Jakarta: UI Press.
Mustofa, Bisri., dkk. 2007. Kamus Lengkap Geografi. Jogjakarta: Panji Pustaka.
Mustofa, Mohammad Solehatul. 2005. Kemiskinan Masyarakat Petani Desa Di Jawa. Semarang: UNNES PRESS
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Penny, David H. 1990. Petunjuk Bagi Peneliti Ilmu-Ilmu Sosial. Semarang: Penerbit CV Agung.
Peursen, C. A. Van. 1985. Stategi kebudayaan. Yogjakarta: kanisius.
Poerwanto, Hari. 2006. Kebudayaaan Dan Lingkungan: Dalam Perspektif Antropologi. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
Putra, Heddy Shri Ahimsa. 1997. Sungai Dan Air Ciliwung: Sebuah Kajian Etnoekologi. Jogjakarta: Prisma.
------------------------------------.1994. Antropologi Ekologi: Beberapa Teori Dan Perkembangannya. Jogjakarta: Prisma.
Razake, Abdul Azis. 1988. Pengantar Kependudukan dan Lingkungan Hidup. FKIP Universitas Haluoleo.
Salim, Emil. 1981. Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Mutiara.
Santosa, Kukuh. 2004. Pengantar Ilmu Lingkungan. Semarang: UNNES PRESS.
Siahaan, N.H.T. 2007. Hutan, Lingkungan dan Praradigma Pembangunan. Jakarta: Pancuran PRESS.
Soekanto, Soerjono.1993. Kamus Sosiologi Edisi Baru. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
-----------------------.2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Terjemahan Misbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.
Subarkah, I. 1980. Hidrologi Untuk Perencanaan Bangunan Air. Bandung: Idea Dharma.
Sunaryo, Tri M, dkk. 2007. Pengelolaan Sumber Daya Air: Konsep dan Penerapannya. Malang: Bayu Media Publisher.
Suyono. 1944. Hidrologi Dasar I. Yogjakarta. UGM PRESS.
Suyono, dkk. 1995. Perbaikan dan Pengaturan Sungai. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Rahmat, Jalaludin. 1994. Psikologi Komunikasi (edisi ke 2). Bandung: PT. Remaja Rosidakarya.
Soemarwoto, Oto. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan.
Triyoga, Lucas Sasongko. 1989. Manusia Jawa dan Gunung Merapi: Persepsi dan Kepercayaannya. Yogjakarta: Universitas Gajah Mada PRESS.
UNNES, FIS. 2008. Panduan bimbingan, penyusunan, pelaksanaan ujian, dan penilaian skripsi mahasiswa. Semarang: UNNES PRESS.
Warsito, Hermawan.1992 Pengantar Metodologi Penelitian Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Walgito, Bimo. 2001. Psikologi Sosial. Yogjakarta: Andi Offset.
Yusuf, Yasin. 2005. Anatomi Banjir Kota Pantai. Surakarta: Pustaka Cakra.







Komentar

Postingan Populer